Gunawan (2000) menyatakan putus sekolah
merupakan predikat yang diberikan kepada mantan peserta didik yang tidak mampu
menyelesaikan suatu jenjang pendidikan, sehingga tidak dapat melanjutkan
studinya ke jenjang pendidikan berikutnya.
Anak putus sekolah adalah murid yang
tidak dapat menyelesaikan program belajarnya sebelum waktunya selesai atau
murid yang tidak tamat menyelesaikan program belajarnya. Sedangkan anak tidak
lanjut sekolah adalah anak yang telah menyelesaikan studinya pada jenjang
pendidikan tertentu dan tidak melanjutkan pendidikannnya ke jenjang yang lebih
tinggi (Idris, 2011).
Untuk mengetahui jumlah anak putus sekolah, maka harus
diketahui terlebih dahulu angka putus sekolah di daerah tertentu. Angka Putus
Sekolah adalah perbandingan antara siswa yang meninggalkan sekolah pada tingkat
tertentu atau sebelum lulus pada jenjang pendidikan tertentu dengan siswa pada
tingkat dan jenjang pendidikan tertentu pada tahun ajaran sebelumnya (Info
Dikdas, 2011). Jenjang pendidikan yang masih menyumbangkan putus sekolah dalam
jumlah besar di Indonesia adalah pendidikan menengah yakni SMA sederajat.
Pendidikan menengah merupakan
pendidikan yang mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan
sosial (Fuad, 2003). Pendidikan menengah bertujuan untuk mengembangkan potensi
dan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi. Pendidikan
menengah terdiri dari pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah
kejuruan.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional jenis pendidikan sekolah menengah ada 2
yaitu:
1. Pendidikan Menengah Umum
Pendidikan sekolah
menengah umum diselenggarakan oleh Sekolah Menengah Atas (SMA) yang dulunya
disebut sebagai Sekolah Menengah Umum (SMU) atau Madrasah Aliyah (MA).
Pendidikan menengah umum dapat dikelompokkan dalam program studi sesuai dengan
kebutuhan untuk belajar lebih lanjut di perguruan tinggi dan hidup di dalam
masyarakat. Pendidikan menengah umum terdiri atas 3 tingkat.
2. Pendidikan Menengah Kejuruan
Pendidikan
menengah kejuruan diselenggarakan oleh Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau
Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK). Pendidikan menengah kejuruan dikelompokkan
dalam bidang kejuruan didasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan/atau seni, dunia industri/dunia usaha, ketenagakerjaan baik secara
nasional, regional maupun global, kecuali untuk program kejuruan yang terkait
dengan berbagai upaya pelestarian warisan budaya. Pendidikan menengah kejuruan
terdiri atas 3 tingkat dan dapat juga terdiri atas 4 tingkat sesuai dengan
tuntutan dunia kerja. Berpedoman pada Undang-Undang No.2 Tahun 1989, pendidikan menengah berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia
Indonesia.
Tujuan pendidikan
menengah, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 bahwa pendidikan
menengah bertujuan untuk:
1. Meningkatkan pengetahuan siswa untuk
melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dan untuk mengembangkan
diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian.2. Meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Angka Putus Sekolah
Menurut Beeby (1980), metode apapun
yang digunakan untuk meneliti di seluruh tingkat sekolah, seluruh peneliti
berkesimpulan bahwa putus sekolah lebih merupakan masalah sosial ekonomi dari
pada masalah pendidikan. Mayoritas hasil penelitian, penyebab putus sekolah
adalah tidak mampu membiayai, meskipun perlu diingat bahwa alasan tersebut
merupakan jawaban yang paling mudah untuk diberikan kepada orang asing yang
memberikan pertanyaan tersebut. Sebab umum kedua terjadinya putus sekolah
meskipun tidak sesering alasan kemiskinan adalah terbatasnya kesadaran orang
tua terhadap pendidikan. Penyelidikan yang dilakukan berlanjut pada sisa-sisa
arsip yang masih tersedia di sekolah. Arsip tersebut membuktikan bahwa penyebab
lain putus sekolah adalah kegagalan siswa dalam mengikuti pembelajaran. Tidak
disangsikan bahwa faktor ekonomi merupakan penyebab utama langsung terjadinya
putus sekolah. Beberapa faktor penyebab angka putus sekolah tingkat SMA yang
dianggap cukup berpengaruh adalah sebagai berikut:
1. Pengangguran
Pengangguran
adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari
kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang
berusaha mendapatkan pekerjaan (BPS, 2014). Keadaan demikian dapat menyumbangkan
putus sekolah karena tidak terpenuhinya biaya untuk mengenyam pendidikan.
2. Kemiskinan
Berbicara mengenai
kemiskinan penduduk tentu saja tidak terlepas dari pengeluaran rata-rata rumah
tangga perbulan. Asumsi ini bila dijelaskan bahwa semakin tinggi rata-rata
pengeluaran rumah tangga semakin rendah kemungkinan anak untuk meninggalkan
sekolah (semakin tinggi rata-rata konsumsi semakin rendah drop out). Besarnya
pengeluaran untuk konsumsi memberikan arti bahwa komponen pengeluaran konsumsi
lebih penting mereflesikan status ekonomi rumah tangga (Mulyanto, 1986).
Hal selaras juga
dikemukakan oleh Gerungan (1988) bahwa hubungan orang tua dengan anaknya dalam status
sosial-ekonomi serba cukup dan kurang mengalami berbagai tekanan fundamental
seperti dalam memperoleh nafkah hidupnya yang memadai. Orang tuanya dapat
mencurahkan perhatian yang lebih mendalam kepada pendidikan anaknya apabila ia
tidak disulitkan dengan perkara berbagai kebutuhan primer kehidupan manusia.
3. Pendidikan Kepala Rumah Tangga
Willis dan
Setyawan (1984) menyebutkan bahwa anak yang tidak melanjutkan sekolah
ataupun putus sekolah dikarenakan kurangnya bimbingan dan dorongan dari orang
tua. Hal ini salah satunya disebabkan oleh orang tua yang tidak punya waktu
karena sibuk mencari nafkah bagi keluarga. Bagi orang tua yang bekerja di
luar rumah dalam waktu yang lama, maka pengawasan terhadap keseharian anak
tidak akan maksimal. Orang tua yang sibuk bekerja dengan maksud memenuhi
kebutuhan keluarga tentu tidak memiliki waktu untuk mengontrol pergaulan
anaknya, akibatnya anak akan mudah terpengaruh dengan keadaan
lingkungan pergaulan sehari-hari bahkan cenderung membawa dampak negatif.
Yusuf (1986)
menyatakan bahwa kemiskinan orang tua baik ilmu pengetahuan maupun kekayaan,
akan mempengaruhi pendidikan anak-anaknya. Hal yang sama dikemukakan pula oleh Nasution (1985)
bahwa untuk membantu dalam proses pendidikan sebaiknya orang tua harus belajar mempertinggi
pengetahuannya, sebab semakin banyak yang diketahui orang tua semakin banyak
pula yang dapat diberikan kepada anak-anaknya. Orang tua yang memperoleh
pendidikan tinggi diharapkan akan timbul dorongan agar anaknya melanjutkan
sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, dan mempunyai pertimbangan yang rasional
serta wawasan yang luas dalam melihat betapa pentingnya pendidikan bagi masa
depan anaknya.
Jika diamati pengaruh pendidikan orang tua terhadap pendidikan anak maka pendidikan bapak jauh lebih berarti dibandingkan dengan pengaruh pendidikan ibu. Artinya jumlah anak usia sekolah yang terdaftar di sekolah lebih dominan dipengaruhi oleh pendidikan bapak dibandingkan pendidikan ibu.
4. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen
dasar kualitas hidup. Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui
pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup umur panjang (sehat), pengetahuan, dan kehidupan yang
layak. Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian sangat luas karena terkait
banyak faktor. Untuk mengukur dimensi kesehatan, digunakan angka harapan hidup
waktu lahir. Selanjutnya untuk mengukur dimensi pengetahuan digunakan gabungan
indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Adapun untuk mengukur
dimensi hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap
sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per
kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk
hidup layak (BPS, 2014).
5. Angka Partisipasi Sekolah (APS)
APS merupakan
ukuran daya serap lembaga pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. APS
merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan layanan pendidikan
di suatu wilayah baik provinsi, kabupaten, atau kota di Indonesia yang bermanfaat untuk melihat akses penduduk pada
fasilitas pendidikan khusunya bagi penduduk usia sekolah. Semakin tinggi angka
partisipasi sekolah semakin besar jumlah penduduk yang berkesempatan mengenyam
pendidikan. Namun demikian, meningkatnya APS tidak selalu dapat diartikan
sebagai meningkatnya pemerataan kesempatan masyarakat untuk menenyam pendidikan.
APS dihitung dari proporsi dari semua anak yang masih sekolah pada suatu
kelompok umur tertentu terhadap penduduk dengan kelompok umur yang sesuai.
Sejak tahun 2009, pendidikan Non formal (Paket A, Paket B, dan Paket C) turut
diperhitungkan (BPS, 2014)
6. Rural
Rural dapat diartikan
lingkungan pedesaan, di mana suatu pedesaan masih sulit untuk berkembang,
karena kebanyakan warganya sangat tertutup dengan hal-hal yang baru dan mereka
masih memegang teguh adat yang telah diajarkan oleh mereka. Dari keadaan
demikian sarana prasarana terutama pendidikan dan transportasi tertinggal dan
dapat menyebabkan putus sekolah.
Dalyono (2005)
menyatakan bahwa lingkungan sosial yang sangat berpengaruh pada proses dan
hasil pendidikan adalah teman bergaul, lingkungan tetangga, dan aktivitas dalam
masyarakat. Begitu pula dengan anak putus sekolah pada tingkat SMA yang berada
di lingkungan teman bermain yang tidak sekolah dan sudah bekerja. Melalui
pergaulan mereka maka anak yang sekolah akan terpengaruh untuk tidak sekolah
juga (putus sekolah).
Gunawan (2000)
mengatakan bahwa perkembangan kepribadian seseorang dapat dipengaruhi oleh
lingkungan sosial sekitar tempat tinggal. Lingkungan yang dimaksudkan dalam
penelitan ini adalah keadaan atau kondisi sosial yang ada disekitar anak
dilihat dari tempat dan teman bermain. Dalyono (2005) mengemukakan bahwa
lingkungan sosial mempunyai pengaruh terhadap pencapaian pendidikan anak dalam
keluarga. Jadi, agar anak dapat memperoleh pendidikan dengan baik maka orang
tua harus mengupayakan dan mengarahkan agar anak-anaknya tidak terpengaruh
dengan lingkungan sosial yang kurang mendukung tercapainya pendidikan.
7. Perceraian
Orang Tua
Broken home atau rusaknya
rumah tangga sebuah keluarga menjadi penyumbang terbesar angka dropt out
(DO) atau anak putus sekolah. Perceraian orang tua berdampak pada anak mereka
yang tidak lagi bersekolah. Pelajar juga tidak mengurus perpindahan, jika ingin
pindah sekolah. Sehingga akhirnya anak usia sekolah, tidak lagi mengenyam
pendidikan di bangku sekolah. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
menjelaskan, anak yang lama tidak lagi masuk sekolah, membuat sekolah
memasukkan siswa itu dalam klasifikasi DO (Dalyono, 2005).
Kurangnya
perhatian orang tua cenderung akan menimbulkan berbagai masalah. Makin besar
anak maka perhatian orang tua makin diperlukan, dengan cara dan variasi dan
sesuai kemampuan. Kenakalan anak adalah salah satu penyebabnya adalah kurangnya
perhatian orang tua. Hubungan keluarga tidak harmonis dapat berupa perceraian
orang tua, hubungan antar keluarga tidak saling peduli, keadaan ini merupakan
dasar anak mengalami permasalahan yang serius dan hambatan dalam pendidikannya
sehingga mengakibatkan anak mengalami putus
sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
C.E.Beeby. 1980. Pendidikan
di Indonesia (Penilaian dan Pedoman Perencanaan). (Terjemahan BP3K dan
YIIS). Jakarta: LP3ES.
Dalyono. 2005.
Psikologi Pendidikan. Jakarta :Rineka Cipta.
Fuad, Ihsan. 2003. Dasar – Dasar
Kependidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Gerungan, A. W. 1988. Psikologi
Sosial. Jakarta: Eresco.
Gunawan, A. H.
2000. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Idris. 2011. Anak
Putus Sekolah. Diakses dari http://makalahcentre.blogspot.com/2011/01/anak-putus-sekolah.html
pada tanggal 5 Januari 2016 jam 00.38.
Info Dikdas. 2011.
Sistem Informasi Manajemen (SIM) Dinas Pendidikan Dasar Kabupaten Bantul.
Bantul: Dinas Pendidikan Dasar.
Mulyanto, S. 1986.
Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. Jakarta: Rajawali.
Nasution,
T & Nasution, N. 1985. Sosiologi
Pendidikan Jakarta: Bumi Aksara.
Yusuf,
A. M. 1986. Sosiologi
Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi tentang Berbagai Problem Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta.